Hasni's Story Galery


Penyapu Jalan
Cerpen Imran Rusli

Iman membuka matanya dengan susah payah. Sudah tiga hari ini tubuhnya terasa sakit di berbagai tempat. Terutama kepala bagian belakang, bagian dalam kuping, dan tenggorokan. Hidungnya tak berhenti meler, mengeluarkan ingus bening yang seolah -olah tak mau kering. Penderitaan itu masih ditambah lagi dengan demam tinggi yang meluluhlantakkan tubuhnya sejak kemarin malam. Tapi, bagaimanapun keadaannya, Iman harus bangun. Dia harus menyapu jalan.

Tanpa mandi dan sarapan lagi, anak muda delapan belas tahun itu merangkak ke luar gubuk kontrakan yang disewanya Rp 30.000 sebulan. Dulu, pernah ada pejabat kelurahan yang menyarankan Iman tinggal di rumah susun. Bayarannya malah lebih murah, Rp 500 per hari. Tapi, Iman gagal menempati kamar di sana karena tak bisa menyediakan uang Rp 250.000, sesuai permintaan bapak itu. Jadi, kamar di tingkat dua, yang jauh lebih bersih dari tempat tinggal Iman sekarang, jatuh ke tangan Rudi yang punya tabungan Rp 250.000.

Tertatih-tatih, Iman menuju jalan raya. Sambil jalan dikenakannya double pack warna orange terang, pembagian Walikota ketika Iman pertama kali diangkat menjadi penyapu jalan. "Kalian adalah warga Jakarta paling terhormat. Tanpa kalian entah apa jadinya kota ini. Penuh sampah menjijikkan di mana-mana. Banggalah akan diri kalian. Banggalah akan profesi kalian!" Demikian Walikota berseru membangkitkan semangat Iman dan kawan-kawan, sebelum akhirnya menghilang dalam Volvonya yang hitam mengkilap. Bahkan, janjinya membagikan nasi ayam kotak dari rumah makan Amerika yang terkenal itu, entah kenapa, juga tak jadi diwujudkan. Padahal, Iman sudah sangat ingin merasakan ayam makdonal.

Awalnya, Iman memang sangat bangga dengan pekerjaannya. Sehabis shalat Subuh dia sudah berangkat menuju pangkalan. Dia tidak tahu apa sebetulnya yang membuat dirinya bangga. Padahal ketika dulu dari kampungnya di tepi hutan Alas Roban, Iman tidak pernah membayangkan akan bekerja sebagai penyapu jalan di Jakarta. Memang, sebagai anak yang dibesarkan di bawah pohon jati, Iman tidak asing dengan sapu. Hampir setiap hari dia membantu Si Mbok menyapu halaman, atau lantai tanah dalam rumah mereka. Tapi, menyapu jalan raya yang penuh kendaraan bersliweran? Iman tidak pernah membayangkan.

Makanya, ketika mendapatkan pekerjaan itu Iman sering termangu-mangu di trotoar. Sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang dia menatap sapu lidi di sampingnya dengan mata menerawang. Namun, begitu bulan berakhir dan uang Rp 150.000 diberikan mandor kepadanya, mata Iman bersinar lagi. Itu uang yang sangat banyak yang pernah dipegangnya. Dan semua uang itu miliknya! Iman tidak tahu bagaimana galaunya perasaannya. Hampir berlari, dan dengan tangan gemetar, dia menuju kantor pos. Di lembaran berita kartu wesel itu, Iman menulis, "Mbok, ini uang kiriman Iman sebanyak lima puluh ribu rupiah. Belilah bedak jamu yang sangat Mbok inginkan itu di toko Babah A Kim. Sembah sujud anakmu. Iman." Iman tahu Si Mbok tidak bisa membaca. Namun dia juga tahu, ada Pak Guru di rumah sebelah yang akan membacakan kalimat tersebut untuk Si Mbok.

Tubuhnya meriang makin menyiksa. Panas dingin silih berganti. Pandangannya berkunang-kunang. Iman berusaha mengerjapkan mata, menahan silau sinar matahari yang mulai muncul di ufuk Timur. Sampai hari ini, sudah tiga tahun saja Iman bertugas membersihkan jalan Jakarta. Cuma, kebanggaannya sudah berubah. Menjadi kegetiran yang sangat mengharu-biru dada. Dada itu, ah, sungguh kurus. Tidak lagi berisi seperti dulu. Batuk telah menggerogotinya menjadi deretan tulang berlapis kulit tipis. Tubuhnya memang makin ringkih dimakan udara Jakarta yang penuh asap knalpot bis kota, mobil pribadi, mobil tangki, sepeda motor, dan banyak lagi.

Setengah menyeret kaki, Iman sampai juga di pangkalan. Dengan dada sesak dan batuk berulangkali, berhasil juga dia mengenakan double pack, yang kini sudah pudar. Sejak tahun lalu tidak ada lagi pembagian baju seragam kerja. "Krisis Nak, krisis!", begitu penjelasan pejabat kelurahan yang baru. "Jadi, pakai saja baju kerja kalian ini sampai benar-benar hancur. Kalau bisa jangan sampai hancurlah. Robek sedikit segera jahit. Jangan dibiarkan melebar. Ayolah, kalian kan tahu pemerintah sekarang susah uang. Kalau masih ingin menerima uang setiap bulan, jangan banyak mengeluh. Kalau ada yang tidak sanggup bertahan, silakan keluar, masih banyak anak muda yang ingin menyapu jalan di Jakarta ini," tambahnya dengan nada tegas dan ketus. Nyali Iman dan kawan-kawan ciut. Di mana lagi mereka bisa mendapatkan Rp 150.000 sekarang ini? Terbayang wajah Si Mbok. Jangan sampai wajah sumringah itu kembali muram dan kisut dimakan derita.

Matahari mulai agak naik. Kendaraan juga mulai banyak. Terutama bis kota. Asapnya yang tebal hitam menyembur-nyembur mengotori udara pagi. Iman teringat omongan seorang mahasiswa dekat halte. "Pengusaha angkutan umum enak-enak dapat duit dengan meracuni warga. Tiap hari udara yang kita hirup dinodainya dengan polusi. Tapi toh semua diam saja. Tak ada yang peduli. Dasar masyarakat sakit. Sudah jelas-jelas dirinya diracun setiap hari, eh diam saja. Masyarakat bego!"

Iman tidak mengerti apa maksudnya. Tapi dia setuju soal pengotoran udara tadi. Sebagai penyapu jalan dia tahu makna mengotori. Dia juga sering marah pada anak-anak orang kaya yang suka membuang kulit buah dari dalam sedan mulus mereka. Iman juga sering kesal bila bis kota di depannya tiba-tiba menyemburkan asap hitam tebal tanpa peringatan, sehingga batuknya kambuh. Rasanya Iman ingin melemparkan sapunya ke kaca bis itu. Biar pecah berantakan. Tapi Iman tak pernah benar-benar melakukannya.

Bukan cuma itu yang membuat Iman tertekan, dan makin lama makin tenggelam dalam genangan bermacam-macam penyakit. Para pengendara motor yang suka menerabas lewat trotoar merupakan salah satu sumber penyakitnya. Sering terjadi, waktu istirahatnya yang cuma sebentar, terganggu oleh laju sepeda motor yang tidak pada tempatnya itu. Ketika ditegur, eh malah mereka yang lebih galak. "Apa kamu? Penyapu jalan! Sapu aja jalanan, jangan mencampuri urusan orang!" Iman, benar-benar gondok berhadapan dengan ‘orang salah yang merasa benar’ itu. Tapi Iman takut. Kalau dia nekad melawan, bisa-bisa mereka turun dari motor dan menghajarnya habis-habisan. Jadi, selama ini, Iman terpaksa berdiri dari duduknya dan menyingkir ke jalan, agar mereka bisa melaju di trotoar dengan leluasa.

Iman juga kesal dengan para pedagang kaki lima, yang seenaknya saja memakan separuh jalanan dan halte. Kehadiran mereka membuat Iman tidak bisa melaksanakan tugas dengan benar. Bagaimana bisa menyapu jalan, kalau jalanan itu dipenuhi pedagang kaki lima? Pernah dicobanya meminta agar mereka mundur sedikit, paling tidak ke belakang trotoar, supaya dia bisa menyapu jalan dengan benar. Eh, malah semuanya mengamuk. "Penyapu jalan sialan! Kami di sini cari makan tahu? Lagipula, apa hakmu meminta kami mundur? Lapak ini sudah kami bayar. Tanya tuh si Mat Jeger, atau Pak Birok di kelurahan dan kecamatan. Mau mampus Lu mengusik-usik kami?" Iman mengkeret. Bagaimana tubuhnya yang ringkih itu bisa melawan sekelompok orang yang katanya cari makan? Akibatnya, batinnya makin tertekan.

Matahari makin tinggi, dan Iman makin tak bisa merasakan tubuhnya sendiri. Dia seperti melayang, berjalan dengan pikiran dan hatinya yang marah. Rasa sakit yang menggerogoti tubuh, pikiran dan perasaannya selama ini, kini sudah melampaui batas. Iman tidak bisa merasakannya lagi.

Tanpa rasa apapun lagi diambilnya sapu. Hanya satu keinginan yang membimbing tindakan Iman sekarang: menyapu semua ganjalan yang selama ini menyiksanya. Dengan gagah Iman menuju jalanan. Semua bis kota berasap tebal disapunya kuat-kuat. Juga seluruh mobil pribadi yang lewat di situ. Mereka telah menghancurkan paru-parunya, jadi Iman merasa berhak membalas.

Namun jalanan tak kunjung bersih. Kendaraan itu terus saja bermunculan seperti setan. Asap racun dari knalpot mereka menyembur makin tebal, menghitamkan wajah Iman. Menyumpal paru-parunya dengan sumpah serapah. "Penyapu jalan tak tahu diuntung! Pulang ke kampungmu sana!"

Iman pindah ke trotoar, disapunya semua sepeda motor yang lewat di situ. Tapi, makin disapu makin banyak mereka. Iman tak berdaya. Sebuah motor dengan tenang menabraknya sampai terpental ke jalan raya. Dan orang-orang berkata. "Dasar penyapu jalan tolol. Sepeda motor dilawan!" Tak ada yang mempersoalkan keberadaan sepeda motor yang tidak pada tempatnya itu.

Iman masih belum menyerah. Dia menuju lapak para pedagang kaki lima. Dengan geram disapunya semua. Lalu diserok dan dijejalkannya ke dalam pengki. Masih belum puas, Iman menginjak-injaknya supaya padat, agar bisa muat lebih banyak. Tapi semakin bersemangat dia menyapu dan menjejalkan mereka ke dalam pengki, makin banyak pula pedagang kaki lima bermunculan. Wajah mereka sarat dengan kemarahan. Mereka mengerubungi Iman dan memaki-makinya dengan kata-kata kasar. "Penyapu jalan brengsek! Kamu tidak punya solidaritas sedikitpun ya pada sesama orang miskin! Kuhajar kau!" Mereka mengamuk dan memukuli Iman dengan beringas.

"Kalian bukan orang miskin! Kalian orang yang suka bersembunyi di balik kemiskinan untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan. Sayalah yang miskin! Saya yang miskin!" Iman berteriak-teriak. Dia marah, karena kemiskinannya diperalat. Namun mereka terlalu kuat. Iman dihajar bolak-balik, sampai tak bisa bangkit. Lalu, tubuh kerempeng itu disapu balik ke jalan raya. Sapunya kemudian dipatahkan. Sebagian diambil untuk memperkuat tiang lapak.

Iman mencoba bangkit. Tapi, bis kota, mobil pribadi, sepeda motor dan pedagang kaki lima yang masih marah tidak membiarkan. Mereka mengurungnya, dan menjaga agar Iman tidak bangkit. Iman terkapar tak berdaya. Terbayang wajah Si Mbok. Terbayang kampungnya yang tenang. Terbayang penyapu jalan baru yang siap menggantikan posisinya. Terbayang jalanan yang tak kunjung bisa dibersihkan. Iman merasa sangat tidak berdaya.

Hari berikutnya. Jalanan kota tetap ramai seperti biasa. Tak ada yang bertanya di mana penyapu jalan. Warga sudah terbiasa dengan kesemrawutan dan kesewenang-wenangan. Mereka tidak butuh penyapu jalan.



< Back >